التمسك التوحيد,تصويب العقيدة,الستصل الشرك و بدعة

Tegak Tauhid, Lurus Aqidah, Berantas Syirik dan Bid'ah

Fenomena Thiyarah dan Doa Berlindung dari Thiyarah

pada Desember 1, 2009

Kasus 1:

Setelah dihitung-hitung, dikonsultasikan kepada gurunya, akhirnya seorang bapak menemukan hari baik untuk pernikahan anaknya yang jatuh pada hari senin. Disebarkanlah undangan, sementara calon undangan (tamu –pen) setelah mendapat undangan sempat berpikir “kenapa nikahnya hari senin? Jadi harus ijin ke kantor nih…, jadi harus cuti nih…”.

Kasus 2:

Heru, penjual ikan, mengatakan, memang rencananya pedagang akan dipindah pada Senin (1/6). Hanya saja, sebelumnya pedagang sudah bersepakat tidak akan pindah pada hari yang ditentukan itu. Karena, kata dia, bagi kepercayaan sebagian pedagang, Senin adalah hari yang kurang tepat untuk pindah. “Jadi katanya, kalau pindah hari Senin itu kita bisa kena musibah. Dan jualan bisa-bisa nggak laku,” kata pria yang sudah berjualan di pasar itu sejak 1988.

Senada dikatakan Jumadi, penjual ayam, dan Pani, penjual daging. Kedua pedagang itu mengatakan, memang bagi sebagian pedagang jika ingin pindah ke lokasi baru harus menyesuaikan dengan hari baik. Karena, ujarnya, itu bisa berpengaruh dengan penjualan di tempat yang baru. “Tapi ada juga yang belum mau pindah karena memang menilai ada beberapa bagian pasar yang belum selesai,” kata Jumadi. [1]

Kasus 3:

“Setelah ini ibu adakan selamatan ya…, jika tidak akan adalagi yang celaka seperti ibu ini…” kata seorang sangkal putung [2] kepada seorang ibu yang berobat kepadanya. Kemudian suaminya teringat sesuatu mengenai patah tangan yang dialami keponakannya yang pernah tinggal dirumahnya beberapa tahun yang lalu karena terjatuh dari motor dan dilanjutkan setahun berikutnya dari anak tangga dirumah temannya, dan juga patah kaki yang pernah dialami menantunya karena terpeleset dari anak tangga dirumahnya. Sang suamipun menyampaikan apa yang dia ingat itu kepada istrinya, akhirnya mereka merasa ada kesialan yang menimpa keluarganya karena kejadian-kejadian sebelumnya tidak pernah mengadakan acara selamatan.

Dari ketiga kasus di atas dapat kita lihat bahwa adanya kesyirikan berupa thiyaroh (anggapan sial atau keberuntungan) terhadap sesuatu seperti menjadikan hari tertentu sebagai hari buruk atau hari buruk, melihat tingkah laku hewan sebagai suatu tanda keburukan atau kebaikan, dan yang lebih parah lagi adalah keresahan yang timbul dari keyakinan pada perkataan orang mengenai keburukan yang akan terjadi jika tidak begini atau begitu seperti kita baca pada kasus ketiga.

Padahal Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:

ألا إنما طائرهم عند الله ولكن أكثرهم لا يعلمون

Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui” QS. Al A’raf: 131

قالوا طائرهم معكم أئن ذكرتم بل أنتم قوم مسرفون

Mereka (para Rasul)  berkata : “kesialan kalian itu adalah karena kalian sendiri, apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib sial)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” QS. Yasin: 19

Abu Daud meriwayatkan hadits yang marfu’ dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

” الطيرة شرك، الطيرة شرك، وما منا إلا …، ولكن الله يذهبه بالتوكل ” رواه أبو داود والترمذي وصححه وجعل آخره من قول ابن مسعود.

Thiyarah itu perbuatan syirik, thiyarah itu perbuatan syirik, tidak ada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini ), hanya saja Allah subhaanahu wa ta’ala bisa menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya“.(HR.Abu Daud ) Hadits ini diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi dan dinyatakan shoheh, dan kalimat terakhir ia jadikan sebagai ucapannya Ibnu Mas’ud )

Kesialan Yang Ditimpakan Pada Suatu Hal

Seperti pada kasus pertama banyak dipercayai orang Indonesia seperti di jawa, mereka meyakini bahwa bulan Muharram (bulan suro) adalah bulan yang sial, maka dari itu jarang sekali orang tua menikahkan anaknya di bulan ini. Dengan keyakinan bahwa kebanyakan orang yang menikah di bulan ini, pernikahannya tidak akan berlangsung lama atau cepat meninggal dunia atau cerai. Padahal keyakinan tersebut adalah tidak benar dan dilarang oleh syari’at, karena itu termasuk (Atthiroh)  yang dilarang oleh syari’at sebagaimana dalam Hadist Nabi صلى الله عليه وسلم:

عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال: ” لا طيرة ” و في حديث : ” من ردته الطيرة فقد قارف الشرك ”
Dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau bersabda: “Tiada Kesialan” dalam Hadist lain: “Barangsiapa menanggalkan suatu Perjalanan Karena Pesimis (bekeyakinan akan sial) maka telah melakukan perbuata syirik“.

و في حديث ابن مسعود المرفوع : ” الطيرة من الشرك و ما منا إلا  و لكن الله يذهبه بالتوكل ”
Dan di Hadist Ibnu Mas’ud marfu’: “Pesimis (meyakini akan sial) termasuk perbuatan syirik dan kebanyakan dari kita telah melakukannya akan tetapi Allah Subbahanahu wa ta’alla menghilangkannya dengan Tawakkal “.

Kepercayaan seperti hal di atas sungguh dapat merusak aqidah, dan batalnya keislaman, sementara perlu diketahui, bahwa suatu musibah, kejadian baik dan buruk tidak akan terjadi kecuali dengan Qadha’ dan Qadar Allah Subbahanahu wa ta’alla. Bukan karena sesuatu yang lain dari berbagai makhluk Allah Subbahanahu wa ta’alla. Akan tetapi semua hal tersebut adalah sesuai dengan Qadha’ dan Qadar Allah Subbahanahu wa ta’alla.

Allah berfirman:

( ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها ) [ الحديد : 22].
Setiap bencana yang menimpa di bumi  dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya“. Qs Al-Hadid: 22

Rasulullahpun telah menjelaskan bahwa kita tidak boleh mempercayai suatu penyakit itu menular karena ditularkan oleh penyakit itu  sendiri. Akan tetapi penyakit yang menular tersebut tidak lain adalah atas kehendak Allah Subbahanahu wa ta’alla serta Qadha’ dan Qadar-Nya. Hadist tersebut adalah sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال : ” لا عدوى و لا هامة و لا صفر ”  فقال أعرابي : يا رسول الله فما بال الإبل تكون في الرمل كأنها الظباء فيخالطها البعير الأجرب فيجربها ؟ فقال رسول الله صلى اللهعليه و سلم : فمن أعدى الأول ؟ ”  رواه البخاري ومسلم

Dari Abi Hurarah RA dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa sesungguhnya beliau bersabda:”Tiada kejangkitan, dan juga tiada mati penasaran, dan tiada juga Safhar”, kemudian seorang badui Arab berkata: “Wahai Rasulullah, onta-onta yang ada di padang pasir yang bagaikan sekelompok kijang, kemudian dicampuri oleh Seekor onta betina berkudis, kenapa menjadi tertular oleh seekor onta betina yang berkudis tersebut?”. Kemudian Rasulullah menjawab: “Lalu siapakah yang membuat onta yang pertama berkudis (siapa yang menjangkitinya)?“. HR Buhari dan Muslim

Adapun maksud dari kalimat (العدوى )  Al-‘Adwa dalam Hadist ini adalah penyakit yang menular kepada orang lain yang mulanya sehat. Bangsa Arab di zaman dahulu meyakini hal ini pada berbagai penyakit seperti kudis dll, maka dari itu seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah: “Kenapa sekelompok onta yang asalnya sehat, di kumpuli oleh seekor onta yang berpenyakit kudis, onta tersebut menjadi berkudis juga? kemudian Rasulullah menjawab: “Lalu siapa yang membuat onta pertama berkudis?” maksudnya: onta yang pertama tidak akan berkudis kecuali karena Qadha’ dan Qadar Allah Subbahanahu wa ta’alla bukan karena penyakit tersebut.

Cara Agar Seorang Muslim Terhindar dari At-Thiyaroh

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

” من ردته الطيرة عن حاجته فقد أشرك “، قالوا : فما كفارة ذلك ؟ قال : أن تقول : اللهم لا خير إلا خيرك، ولا طير إلا طيرك، ولا إله إلا غيرك”.

Barang siapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah ini, maka ia telah berbuat kemusyrikan“, para sahabat bertanya : “lalu apa yang bisa menebusnya?“,  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab :”hendaknya ia berdoa: Ya Allah, tiada kesialan kecuali kesialan dari-Mu, dan tiada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, dan tiada sesembahan kecuali Engkau“.

[lihat Kitab Tauhid syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi]

Dari kisah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasar atau dalil dari syari’at islam adalah kepercayaan yang batil. Dan seorang muslim tidak diperbolehkan untuk mempercayainya.

Kesimpulan

Allah Subbahanahu wa ta’alla melarang kita untuk menghususkan hari atau bulan tertentu sebagai bulan sial atau membawa kesedihan atau yang lain. Semua bulan adalah sama, yaitu bulan bulan Allah Subbahanahu wa ta’alla. Setiap bulan yang disitu seorang mu’min mengerjakan kebaikan dan beribadah maka bulan itu adalah bulan yang membawa berkah baginya. Setiap waktu yang dibuat seseorang untuk mengerjakan maksiat, maka waktu tersebut adalah waktu yang membawa kesialan dan dosa. Jadi hakekat dari pada kesialan atau (الشؤم ) Assyu’mu adalah maksiat kepada Allah Subbahanahu wa ta’alla, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud رضالله عنه: “Jika kesialan terdapat pada sesuatu maka ada di lidah” . karena lidah adalah salah satu indera manusia yang sering dibuat maksiat. Adiy bin Hatim juga berkata: “Beruntung dan sialnya sesuatu itu tergantung pada lidahnya”.

Di sebuah Hadist yang dari Ali رضالله عنه dikatakan :

من حديث علي مرفوعا : ” باكروا بالصدقة فإن البلاء لا يتخطاها ”

Bersegeralah untuk bersedekah sesungguhnya balak tidak akan melewatinya“, HR At-Tabrani.
Di Hadist lain :

” إن لكل يوم نحسا فادفعوا نحس ذلك اليوم بالصدقة ”

Sesunggunya pada tiap-tiap hari mempunyai musibah, maka tolaklah musibah itu dengan sedekah “.

Catatan tambahan untuk do’a berlindung dari thiyaroh dengan harokat:

” اللَّهُمَ لا طَيْرَ إلا طَيْرُكَ وَ لا خَيْرَ إلا خَيْرُكَ وَ لا إله غَيْرُكَ “.

Ya Allah, tiada kesialan kecuali kesialan dari-Mu, dan tiada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, dan tiada sesembahan kecuali Engkau


[1] http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=27007

[2] Sangkal Putung adalah salah satu metode tradisional yang cukup masyhur di Jawa untuk membetulkan dan merawat orang yang mengalami patah tulang atau sendi lepas, namun dari pengalaman penulis bahwa mereka yang mengaku atau diakui sebagai sangkal putung rata-rata cara pengobatannya terkesan beraroma syirik, seperti membaca-baca mantra kemudian meniupkan ke anggota badan yang sakit, kadang meludahinya, atau dengan cara menyuruh pasien meminum air yang telah diberi doa tanpa tahu apa doanya itu, adanya pantangan selama pengobatan, dan juga nasihat untuk mengadakan selamatan, dan lain sebagainya selayaknya para dukun.


Tinggalkan komentar